Suatu siang ketika istirahat kedua.
Aku habis mengantarkan mbak Andari
telepon di wartel samping sekolah. Dari kejauhan aku melihat Lina sedang
berbicara kemudian bersalaman dengan temanku. Teman cowok. Tapi kemudian mereka kok
cipika-cipiki. Walau mungkin tidak mengenai pipi, yang pasti aku shock berat.
Aku kecewa atas kejadian ini, kecewa sama Lina. Seketika itu juga temanku
Andari menyenggol lenganku supaya aku segera mengambil tindakan untuk
memperingatkan Lina karena aku adalah mentornya dia.
“Woi, dek!! Pisah-pisah ! Nggak sopan! Cipika-cipiki lagi !” teriakku spontan dan Lina kaget mendengarnya.
“Aduh, mbak Amin ! Mbak salah
lihat, cuma main-main kali,” pembelaan Lina.
“What ever, terserah kamu yang
penting nggak etis seperti itu,” jawabku. kamudian berlalu pergi
meninggalkannya.
Aku kecewa dengan sikapnya
Lina. Aku sedih ditambah lagi temanku terus menyuruhku untuk mengambil tindakan
untuk masalah ini. Aku merana sekali.
“Mbak, pokoknya kamu harus
ambil tindakan supaya tidak terulang lagi,” kata Andari.
“Iya, insya Allah nanti ku
peringatkan. Tapi tidak sekarang. Tuh gurunya sudah datang,” jawabku. Hatiku
semakin merana dibuatnya.
Suasana kelas menjadi diam
katika guru masuk ke dalam kelas. Aku pun ikut dalam aksi diam ini. Alhasil,
aku jadi tidak fokus pada dua jam terakhir ini. Pikiranku keluyuran membuka
memori kejadian beberapa menit yang lalu. Aku sungguh merana.
---- *** ----
Malam ini Om dan tanteku ada
dinas keluar kota. Adik-adik sepupuku tidak ada yang menjaganya. Jadi aku
diminta untuk menjaga mereka. Jadi aku langsung meluncur ke rumah om dan tanteku
itu.
Rumah omku sepi. Semoga belum
tidur.
“Assalamu'alaikum … “ Tak terdengar jawaban. “Dek, dek …,”panggilku lagi.
“Wassalamu'alaikum …,” jawab adik sepupuku, anak omku yang paling tua.
Aku masuk dan duduk sambil leyeh-leyeh, nyantai-nyantai nonton televisi. Dida, anak omku, duduk di dekatku. Mungkin
karena capek berpikir, rasa kantuk segera mendera jiwaku. “Oh iya, aku harus
buat surat,” aku tersentak.
“Kok nggak jadi bobok mbak?,”
tanya Dida.
“Lupa! Aku masih punya satu
tugas lagi. Mm… dek, punya kertas sama pena?,” tanyaku.
“Punya, sebentar, aku ambilkan
dulu.” Dida kembali lagi dengan membawakan barang-barang yang ku minta,” mau
nilis apa mbak?”
“Ada deh pokoknya! … Thanks ya
dek,” ucapku kemudian aku menyendiri.
Dear my Beloved Lina
di 1.2
Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Hai dek … Bagaimana kabarnya? Semoga baik-baik aja. Amin…
First,
sorry kalau kedatangan suratku ini sangat tiba-tiba.
Dek, jujur
ya! Aku tuh kecewa banget atas kejadian itu. Aku kaget dan kecewa. I’m so sad !
Seharusnya
kamu itu bisa jaga sikap dek. Kamu itu cewek, tolong jangan diulangi lagi. Aku
benar-benar shock. Kamu itu cewek yang lagi beranjak dewasa. Sama dengan aku.
Maka dari itu pintar-pintar jaga diri dan sikap di masa peralihan kita menuju
dewasa.
Dek, sorry
bukannya aku nggak sopan, bukan maksudku untuk menyaikiti hatimu. Beneran !
Tapi aku tulis surat ini karena aku peduli dan care sama kamu. Kamu itu sudah
seperti adikku sendiri. Maaf banget ! Tolong kamu bisa menerima kritik ini. Segini
dulu suratku. Lain kali di kesempatan yang tepat kita sambung lagi.
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
With Love
Puteri
Aku beranjak menuju tempat
Dida. Ups … sudah pada bobok. Maka aku pun mengambil tempat di samping Dida.
---- *** ----
Pukul 07.00 bel berdering.
Siswa-siswa beriringan masuk ke dalam kelas. Surat untuk Lina belum aku
kasihkan karena pagi ini aku belum bertemu dengannya. Nanti kalau aku istirahat
aku akan mencari Lina.
Ketika istirahat tiba, aku
berusaha mencari Lina. Tempat utama yang aku tuju yaitu toilet. Biasanya dia
sudah ada di sana. Dalam perjalanan menuju toilet aku bertemu dengan Lina.
Kebetulan yang sungguh beruntung, tidak perlu mencarinya kemana-mana. Dia
menyapaku dan aku membalasnya. Kemudian aku berikan surat itu lalu ku
tinggalkan dia. Aku pasrah bila nanti Lina akan marah denganku.
Setelah itu selama seharian
aku tidak bertemu dengan dia, jadi aku tidak tahu reaksinya setelah baca surat
dariku itu.
Keesokan harinya aku bertemu
Lina. Wajahnya dingin tanpa ekspresi. Aku jadi tidak enak hatinya.
“Dek, marah?” Lina diam dalam
kebisuannya.
“Wah dek, jangan begitu ah. Jangan
diamkan aku seperti begitu,” aku terus memandangnya.
“Kalau nggak mau bicara ya
sudah, aku sudah minta maaf disuratku itu. Terserah kamu dek. Terserah kamu
kalau kamu tetap tidak mau bicara,” aku kemudian mendiamkan dia dan berjalan
mendahului dia. Dia cuma tersenyum kecil kemudian cemberut lagi.
“Mbak! …”panggil Lina.
Aku menoleh kearahnya. Akhirnya
Lina bicara juga. Dia sekarang tersenyum lebih lebar.
“Bercanda neng! … aku nggak
marah kok cuma sedikit jengkel,” Lina berlari ke arahku. Aku berdiri di tempat.
“Nah… begitu dong dek, bicara!
Kan nggak enak kalau diam terus,” Lina nyengir.
Kami berjalan pelan-pelan
sambil ngobrol.
“Mbak, mau tahu nggak cowok
yang aku maksudkan disurat kemarin, ah … nggak usah tahu aja ya mbak ya …,”
goda Lina, ku cubit tangannya.
“Cluenya orang yang paling
tinggi di sekolah ini,” aku berpikir dan menemukan jawabannya.
“What? Gilang? Yang benar aja
dek?” Lina mengangguk, “But santai aja mbak perasaan ini tidak akan pernah lebih”.
“Tapi hati-hati lho dek, bisa
saja hati berubah,” pesanku.
“Nah gantian mbak, aku mau
nanya siapa cowok yang lagi dikagumi mbak Putri. Pasti ada dong! Ayo ngaku!
Kalau tidak mengaku berarti mbak Putri nggak normal”
Aku kaget mendengar pertanyaan
Lina. Kaget karena pertanyaan yang Lina ajukan begitu adalah hal yang privacy,
sangat privacy. Orang yang aku ceritakan tentang hal ini adalah hanya sahabatku
sejatiku, my real best friend. Pertanyaan ini menohokku dan aku tidak bisa
berkelit lagi.
“Mm … siapa ya? Ada sih … tapi
perlu tanda petik cuma “simpati” thok. Simpati dengan kepribadian dia,”
jawabku.
“Iya tahu. Siapa sih mbak?,”
Lina tetap terus bertanya.
“Siapa ya… Mm … siapa, Lin?” Aku
mengembalikan pertanyaan Lina.
“Wah … mbak …! Cepat mbak,
jangan buat orang penasaran lho,” Lina jengkel. Aku terkikik. “Ah kamu juga
mungkin nggak tahu, namanya Dani”.
“He…he…he… aku memang nggak
kenal, tapi aku akan cari tahu tentang Mas Dani,” Lina pantang menyerah.
“Terserah kamu … asal jangan
sampai ada yang tahu supaya nggak jadi gosip-gosip tetangga, coz aku nggak suka
dan nggak nyaman kalau digosipin,” pesanku.
“Sip deh mbak,” Lina setuju.
“Dek, aku duluan ya tuh
teman-teman sudah menunggu,” Lina mengangguk.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar