Rabu, 06 Agustus 2014

9. Shock Berat !



Suatu siang ketika istirahat kedua. 
Aku habis mengantarkan mbak Andari telepon di wartel samping sekolah. Dari kejauhan aku melihat Lina sedang berbicara kemudian bersalaman dengan temanku. Teman cowok. Tapi kemudian mereka kok cipika-cipiki. Walau mungkin tidak mengenai pipi, yang pasti aku shock berat. Aku kecewa atas kejadian ini, kecewa sama Lina. Seketika itu juga temanku Andari menyenggol lenganku supaya aku segera mengambil tindakan untuk memperingatkan Lina karena aku adalah mentornya dia.
“Woi, dek!! Pisah-pisah ! Nggak sopan! Cipika-cipiki lagi !” teriakku spontan dan Lina kaget mendengarnya.
“Aduh, mbak Amin ! Mbak salah lihat, cuma main-main kali,” pembelaan Lina.
“What ever, terserah kamu yang penting nggak etis seperti itu,” jawabku. kamudian berlalu pergi meninggalkannya.
Aku kecewa dengan sikapnya Lina. Aku sedih ditambah lagi temanku terus menyuruhku untuk mengambil tindakan untuk masalah ini. Aku merana sekali.
“Mbak, pokoknya kamu harus ambil tindakan supaya tidak terulang lagi,” kata Andari.
“Iya, insya Allah nanti ku peringatkan. Tapi tidak sekarang. Tuh gurunya sudah datang,” jawabku. Hatiku semakin merana dibuatnya.
Suasana kelas menjadi diam katika guru masuk ke dalam kelas. Aku pun ikut dalam aksi diam ini. Alhasil, aku jadi tidak fokus pada dua jam terakhir ini. Pikiranku keluyuran membuka memori kejadian beberapa menit yang lalu. Aku sungguh merana.

---- *** ----

Malam ini Om dan tanteku ada dinas keluar kota. Adik-adik sepupuku tidak ada yang menjaganya. Jadi aku diminta untuk menjaga mereka. Jadi aku langsung meluncur ke rumah om dan tanteku itu.
Rumah omku sepi. Semoga belum tidur.
“Assalamu'alaikum … “ Tak terdengar jawaban. “Dek, dek …,”panggilku lagi.
“Wassalamu'alaikum …,” jawab adik sepupuku, anak omku yang paling tua.
Aku masuk dan duduk sambil leyeh-leyeh, nyantai-nyantai nonton televisi. Dida, anak omku, duduk di dekatku. Mungkin karena capek berpikir, rasa kantuk segera mendera jiwaku. “Oh iya, aku harus buat surat,” aku tersentak.
“Kok nggak jadi bobok mbak?,” tanya Dida.
“Lupa! Aku masih punya satu tugas lagi. Mm… dek, punya kertas sama pena?,” tanyaku.
“Punya, sebentar, aku ambilkan dulu.” Dida kembali lagi dengan membawakan barang-barang yang ku minta,” mau nilis apa mbak?”
“Ada deh pokoknya! … Thanks ya dek,” ucapku kemudian aku menyendiri.

Dear my Beloved Lina
di 1.2

Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Hai dek … Bagaimana kabarnya? Semoga baik-baik aja. Amin…
First, sorry kalau kedatangan suratku ini sangat tiba-tiba.
Dek, jujur ya! Aku tuh kecewa banget atas kejadian itu. Aku kaget dan kecewa. I’m so sad !
Seharusnya kamu itu bisa jaga sikap dek. Kamu itu cewek, tolong jangan diulangi lagi. Aku benar-benar shock. Kamu itu cewek yang lagi beranjak dewasa. Sama dengan aku. Maka dari itu pintar-pintar jaga diri dan sikap di masa peralihan kita menuju dewasa.
Dek, sorry bukannya aku nggak sopan, bukan maksudku untuk menyaikiti hatimu. Beneran ! Tapi aku tulis surat ini karena aku peduli dan care sama kamu. Kamu itu sudah seperti adikku sendiri. Maaf banget ! Tolong kamu bisa menerima kritik ini. Segini dulu suratku. Lain kali di kesempatan yang tepat kita sambung lagi.

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

With Love
Puteri


Aku beranjak menuju tempat Dida. Ups … sudah pada bobok. Maka aku pun mengambil tempat di samping Dida.

---- *** ----

Pukul 07.00 bel berdering. Siswa-siswa beriringan masuk ke dalam kelas. Surat untuk Lina belum aku kasihkan karena pagi ini aku belum bertemu dengannya. Nanti kalau aku istirahat aku akan mencari Lina.
Ketika istirahat tiba, aku berusaha mencari Lina. Tempat utama yang aku tuju yaitu toilet. Biasanya dia sudah ada di sana. Dalam perjalanan menuju toilet aku bertemu dengan Lina. Kebetulan yang sungguh beruntung, tidak perlu mencarinya kemana-mana. Dia menyapaku dan aku membalasnya. Kemudian aku berikan surat itu lalu ku tinggalkan dia. Aku pasrah bila nanti Lina akan marah denganku.
Setelah itu selama seharian aku tidak bertemu dengan dia, jadi aku tidak tahu reaksinya setelah baca surat dariku itu.
Keesokan harinya aku bertemu Lina. Wajahnya dingin tanpa ekspresi. Aku jadi tidak enak hatinya.
“Dek, marah?” Lina diam dalam kebisuannya.
“Wah dek, jangan begitu ah. Jangan diamkan aku seperti begitu,” aku terus memandangnya.
“Kalau nggak mau bicara ya sudah, aku sudah minta maaf disuratku itu. Terserah kamu dek. Terserah kamu kalau kamu tetap tidak mau bicara,” aku kemudian mendiamkan dia dan berjalan mendahului dia. Dia cuma tersenyum kecil kemudian cemberut lagi.
“Mbak! …”panggil Lina.
Aku menoleh kearahnya. Akhirnya Lina bicara juga. Dia sekarang tersenyum lebih lebar.
“Bercanda neng! … aku nggak marah kok cuma sedikit jengkel,” Lina berlari ke arahku. Aku berdiri di tempat.
“Nah… begitu dong dek, bicara! Kan nggak enak kalau diam terus,” Lina nyengir.
Kami berjalan pelan-pelan sambil ngobrol.
“Mbak, mau tahu nggak cowok yang aku maksudkan disurat kemarin, ah … nggak usah tahu aja ya mbak ya …,” goda Lina, ku cubit tangannya.
“Cluenya orang yang paling tinggi di sekolah ini,” aku berpikir dan menemukan jawabannya.
“What? Gilang? Yang benar aja dek?” Lina mengangguk, “But santai aja mbak perasaan ini tidak akan pernah lebih”.
“Tapi hati-hati lho dek, bisa saja hati berubah,” pesanku.
“Nah gantian mbak, aku mau nanya siapa cowok yang lagi dikagumi mbak Putri. Pasti ada dong! Ayo ngaku! Kalau tidak mengaku berarti mbak Putri nggak normal”
Aku kaget mendengar pertanyaan Lina. Kaget karena pertanyaan yang Lina ajukan begitu adalah hal yang privacy, sangat privacy. Orang yang aku ceritakan tentang hal ini adalah hanya sahabatku sejatiku, my real best friend. Pertanyaan ini menohokku dan aku tidak bisa berkelit lagi.
“Mm … siapa ya? Ada sih … tapi perlu tanda petik cuma “simpati” thok. Simpati dengan kepribadian dia,” jawabku.
“Iya tahu. Siapa sih mbak?,” Lina tetap terus bertanya.
“Siapa ya… Mm … siapa, Lin?” Aku mengembalikan pertanyaan Lina.
“Wah … mbak …! Cepat mbak, jangan buat orang penasaran lho,” Lina jengkel. Aku terkikik. “Ah kamu juga mungkin nggak tahu, namanya Dani”.
“He…he…he… aku memang nggak kenal, tapi aku akan cari tahu tentang Mas Dani,” Lina pantang menyerah.
“Terserah kamu … asal jangan sampai ada yang tahu supaya nggak jadi gosip-gosip tetangga, coz aku nggak suka dan nggak nyaman kalau digosipin,” pesanku.
“Sip deh mbak,” Lina setuju.
“Dek, aku duluan ya tuh teman-teman sudah menunggu,” Lina mengangguk.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar